Pergumulan dan Pengharapan
Entah mengapa seharian ini rasanya pengen nangis...mendengar kabar, membaca beberapa postingan di media sosial membuat hati ini rasanya sedih sekali...aah, entahlah apa deskripsi yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya melihat apa yang terjadi di negeri Indonesia saat ini..
Orang tidak bersalah, dihukum
Orang jahat, berkeliaran dimana-mana
Orang minoritas, tersingkir
Orang fasik, sehat dan makmur hidupnya
Bener-bener ga masuk di logika saya...sempat saya bertanya-tanya kepada Tuhan, "Dimanakah keadilan? Apakah benar-benar sudah mati hukum di negara ini? Mengapa Tuhan biarkan ini terjadi? Masih sanggupkah orang baik menjadi baik di negara ini?" dan segudang pertanyaan yang menemani saya berpikir dalam perjalanan pergi-pulang naik kereta..
Sempat saya pesimis dan meragukan Indonesia bisa berubah...sempat saya mem-posting di salah satu akun media sosial, "Rip Indonesia Justice"..bagi saya, kejadian hari ini benar-benar membuat saya muak dan kemarahan pun muncul terhadap pihak-pihak tertentu..
Tiba-tiba saja terbesit malam ini akan satu tugas paper yang pernah saya kerjakan tahun 2013...saat itu, dosen saya memberi tugas untuk membuat 1 eksposisi Perjanjian Lama dari kitab Ayub-Kidung Agung...dan saya memilih untuk membuat eksposisi Mazmur 73.
Ada satu pergumulan tersendiri mengapa saya memilih perikop tersebut. Mungkin karena sejak kecil, saya selalu bertanya-tanya kepada Tuhan yaa, membandingkan hidup orang saleh dan hidup orang fasik..melihat bahwa kehidupan orang-orang yang jahat sangat lancar, berlimpah, bebas melakukan apapun, sedangkan orang benar susah hidupnya, punya banyak pergumulan dan tidak jarang jalan yang harus ditempuh berat...mengapa orang jahat hidupnya baik-baik saja, sedangkan orang saleh menderita...saya ga pernah tau jawabannya, sampai saya mencoba meng-eksposisi perikop ini...
Dan kembali, malam ini ketika saya membaca apa yang saya tulis 4 tahun lalu, pada akhirnya saya diingatkan kembali bahwa Tuhan itu baik, Tuhan tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang dan Dia sumber pengharapan sejati. Karakter Allah tidak akan pernah berubah dan hal itu yang membuat saya kembali yakin bahwa cerita ini belum selesai.
Silakan bersedih akan apa yang terjadi hari ini, tetapi lihat hatimu, jangan sampai kamu tergelincir akan iri hati pada orang-orang jahat yang makmur hidupnya sehingga hatimu mengutuki mereka. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.
Saya akan copy paste paper saya disini...maaf kalau panjang banget dan bahasanya baku karena ini tugas..hahaha...tapi semoga bisa menjadi perenungan kita bersama...karena Mazmur 73 kalau dibaca keseluruhan perikop, sangat menggambarkan perasaan saya akan apa yang sedang terjadi saat ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Orang tidak bersalah, dihukum
Orang jahat, berkeliaran dimana-mana
Orang minoritas, tersingkir
Orang fasik, sehat dan makmur hidupnya
Bener-bener ga masuk di logika saya...sempat saya bertanya-tanya kepada Tuhan, "Dimanakah keadilan? Apakah benar-benar sudah mati hukum di negara ini? Mengapa Tuhan biarkan ini terjadi? Masih sanggupkah orang baik menjadi baik di negara ini?" dan segudang pertanyaan yang menemani saya berpikir dalam perjalanan pergi-pulang naik kereta..
Sempat saya pesimis dan meragukan Indonesia bisa berubah...sempat saya mem-posting di salah satu akun media sosial, "Rip Indonesia Justice"..bagi saya, kejadian hari ini benar-benar membuat saya muak dan kemarahan pun muncul terhadap pihak-pihak tertentu..
Tiba-tiba saja terbesit malam ini akan satu tugas paper yang pernah saya kerjakan tahun 2013...saat itu, dosen saya memberi tugas untuk membuat 1 eksposisi Perjanjian Lama dari kitab Ayub-Kidung Agung...dan saya memilih untuk membuat eksposisi Mazmur 73.
Ada satu pergumulan tersendiri mengapa saya memilih perikop tersebut. Mungkin karena sejak kecil, saya selalu bertanya-tanya kepada Tuhan yaa, membandingkan hidup orang saleh dan hidup orang fasik..melihat bahwa kehidupan orang-orang yang jahat sangat lancar, berlimpah, bebas melakukan apapun, sedangkan orang benar susah hidupnya, punya banyak pergumulan dan tidak jarang jalan yang harus ditempuh berat...mengapa orang jahat hidupnya baik-baik saja, sedangkan orang saleh menderita...saya ga pernah tau jawabannya, sampai saya mencoba meng-eksposisi perikop ini...
Dan kembali, malam ini ketika saya membaca apa yang saya tulis 4 tahun lalu, pada akhirnya saya diingatkan kembali bahwa Tuhan itu baik, Tuhan tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang dan Dia sumber pengharapan sejati. Karakter Allah tidak akan pernah berubah dan hal itu yang membuat saya kembali yakin bahwa cerita ini belum selesai.
Silakan bersedih akan apa yang terjadi hari ini, tetapi lihat hatimu, jangan sampai kamu tergelincir akan iri hati pada orang-orang jahat yang makmur hidupnya sehingga hatimu mengutuki mereka. Lakukan saja apa yang bisa kita lakukan.
Saya akan copy paste paper saya disini...maaf kalau panjang banget dan bahasanya baku karena ini tugas..hahaha...tapi semoga bisa menjadi perenungan kita bersama...karena Mazmur 73 kalau dibaca keseluruhan perikop, sangat menggambarkan perasaan saya akan apa yang sedang terjadi saat ini.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KETIKA IMAN TIDAK SESUAI DENGAN KENYATAAN (MAZMUR
73)
I.
Pendahuluan
Realita
kehidupan tidak selalu sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh manusia. Dalam
perjalanan kehidupan orang percaya, seringkali manusia disodorkan dengan
berbagai realita yang menimbulkan banyak sekali pertanyaan. Mengapa sepertinya
hidup ini tidak adil? Mengapa orang fasik makmur dan kaya sementara orang saleh
menderita? Berbagai pertanyaan ini pada akhirnya dapat membawa iri hati serta
keraguan dalam diri manusia akan keadilan Allah. Terkadang di dalam kehidupan, orang
percaya pun dapat tergoda untuk meragukan pemeliharaan dan kebaikan Allah.
Mazmur
73 adalah salah satu Mazmur yang baik dalam menceritakan pergumulan dimana iman
orang percaya berbenturan dengan realita kehidupan yang hampir menggoyahkan
iman.[1] Mazmur ini bukan satu-satunya
Mazmur yang menceritakan pergumulan akan “kebahagiaan” orang fasik. Dalam Mazmur
32, 37, 49, dan 139, pemazmur juga melihat ketidakadilan dalam hidup sebagai
realitas umum dan pribadi.[2] Mazmur 73 seringkali
diidentifikasikan sebagai Mazmur hikmat karena berbicara mengenai 2 hal yang
bertentangan serta keadilan Tuhan terhadap salah satunya[3]
Mazmur
ini ditulis oleh Asaf, seorang keturunan Lewi, kepala pemimpin pujian dalam
Bait Allah (1 Tawarikh 14:4-5). Bila diperhatikan lebih jauh, hal yang menarik
dalam Mazmur 73 adalah perubahan emosi serta pola pikir dari Asaf yang pada
akhirnya membawa perubahan dalam cara pandang Asaf. Pergeseran paradigma dalam
memandang sesuatu terhadap orang lain ini dengan jelas digambarkan dalam Mazmur
73. Ini adalah pergumulan yang menyangkut permasalahan di dalam diri pemazmur
yaitu masalah hati. Kata “hati” dalam Mazmur 73 muncul 6 kali
(vv.1,7,13,21,26[2]). Hal ini mau menggambarkan bahwa keadaan hati adalah pusat
dari seluruh pikiran, perasaan dan tingkah laku manusia.
II.
Struktur
Pernyataan iman
dan krisis iman (73:1-3)
Kecemburuan melihat
kemakmuran orang-orang fasik (73:4-12)
Godaan untuk
meninggalkan hati yang bersih (73:13-15)
Titik balik dan orientasi
baru (73:16-26)
Penegasan iman kembali
(73:27-28)
III.
Eksposisi (Mazmur 73:1-28)
III.1. Pernyataan iman dan krisis iman (73:1-3)
Salah satu yang membuat Mazmur 73
ini menarik adalah kejujuran Asaf mengenai dirinya sendiri dan apa yang ia
lihat disekitarnya. Asaf memulai mazmur ini dengan pernyataan iman bahwa Allah
itu baik bagi mereka yang tulus dan bersih hatinya. Asaf memiliki pandangan
kebenaran akan kebaikan Allah dan ia memulainya dengan statement “Allah itu
baik” (v.1) serta mengakhirinya dengan statement yang serupa (v.27-28).[4] Diawali dengan pernyataan iman
serta diakhir dengan pernyataan iman pula. Beberapa penafsir ada yang melihat
pernyataan “Allah itu baik” dalam ayat 1 sebagai kesimpulan/konklusi dari seluruh
perikop mazmur 73.[5]
Setelah memberikan konklusi diawal, pemazmur mengajak kita untuk mendengarkan cerita
bagaimana ia pada akhirnya mencapai konklusi tersebut, menemukan iman yang ia
pegang dan seperti apa Tuhan yang baik itu.
Sejalan
dengan hal itu, maka dalam ayat pembuka, pemazmur seakan-akan ingin berkata, “I am going to tell you a story; I am going
to tell you what happened to me, but the thing I want to leave with you is just
this : the goodness of God.”[6] Ini adalah sebuah
penegasan iman dalam diri pemazmur dan bukan hanya kata-kata rutinitas yang seringkali
diucapkan kebanyakan orang.
Namun
walaupun Asaf memiliki pernyataan iman yang luar biasa, dalam ayat selanjutnya
Asaf mengakui bahwa ia bingung dengan pengalaman hidup yang justru menunjukkan sebaliknya.
“God is not good to the just”.[7] Dalam pandangan Asaf,
Allah ternyata baik bukan hanya kepada mereka yang tulus dan bersih hatinya, tetapi
juga kepada orang-orang fasik. Dalam hal ini Asaf melewati semacam krisis iman.
Walaupun
dalam ayat 1 Asaf dengan jujur mengakui bahwa Allah itu baik, kudus dan tulus,
namun dalam ayat 2 kemudian Asaf mengkontraskan dengan dirinya sendiri, “Tetapi
aku..”.[8] Asaf mengakui kelemahannya
karena pikiran yang tidak murni dan mengakui bahwa kakinya nyaris tergelincir. Asaf
menjadi ragu-ragu. Dalam hal ini, permasalahannya adalah ia membandingkan
kesehatan, kekayaan dan kemakmuran mereka dengan kemakmurannya yang kurang dan gelisah
ketika Tuhan membiarkannya berada dalam suatu kondisi yang berkepanjangan. Hal
ini yang mungkin juga sering dialami umat percaya. “Our problem is envy, and envy is criticizing God. It is sin.”[9]
Kata
envy berbeda dengan jealous. Envy adalah perasaan tidak senang yang timbul oleh karena sesuatu
hal yang dimiliki oleh orang lain. Perasaan ini biasanya terjadi oleh karena perasaan
kehilangan atau kekurangan yang timbul karena melihat apa yang dimiliki orang
lain. Dalam hal ini, pemazmur melihat kemakmuran serta kekayaan orang fasik
sedangkan dirinya tidak memiliki hal tersebut. Sedangkan jealous adalah kekhawatiran bahwa apa yang dimilikinya bisa diambil
orang lain. Alkitab sering kali menyebut Allah sebagai Allah yang jealous karena Allah tidak ingin
milik-Nya diambil dari-Nya (Kel 20:5). Berbeda dengan jealous, envy bersifat negative. Envy mempengaruhi perasaan seseorang sehingga dapat dilihat pergerakan
emosi Asaf dari ayat pertama sampai ayat yang ketiga. Dari sukacita memuji
Allah, lalu menjadi ragu-ragu serta tidak bahagia melihat orang lain yang
makmur.
III.2.
Kecemburuan melihat kemakmuran orang-orang fasik (73:4-12)
Ketika mendeskripsikan
orang fasik dalam ayat 4-12, terliaht bahwa pemazmur adalah seorang observer
yang detail. Dari hasil observasi tersebut, maka dapat dibagi menjadi 2 bagian
yaitu ayat 4-6 dan ayat 7-11. Pada setiap masing-masing bagian ini, didominasi
oleh kata “mereka” dan diakhiri dengan kata penting “Sebab itu” (vv.6, 10). Keseluruhan
bagian diakhiri dengan pernyataan kesimpulan dalam ayat 12, kata “orang-orang
fasik” adalah pengulangan dari ayat 3.
Dalam ayat 4-6, ada
beberapa karakteristik dari orang fasik. Pertama, orang fasik meninggal dengan
tenang. Mereka tidak memiliki rasa sakit, kepedihan atau trauma menghadapi
kematian. Kedua, “their strength is firm”
atau secara literal diartikan gemuk. Ketiga, mereka tidak mengenal kesusahan
dan penyakit seperti orang lain (v.5). Sebagai hasilnya mereka berkalungkan
kecongkakan dan berpakaian kekerasan (v.6).
Selanjutnya dalam ayat
7, Asaf melanjutkan observasinya. Hati mereka meluap-luap dengan sangkaan. In the OT, reference to human “fat” is
generally pejorative. It usually implies resistance to God; a fat heart is like
a hard heart (17:10; 119:70).[10]
Kenyamanan dalam hidup membuat orang fasik tidak mengakui Sang Pemberi sehingga
dalam hati mereka terus menerus mengikuti kehendak Iblis. Dalam ayat 8-11,
pemazmur mendengar ejekan, perkataan jahat, arogansi dan intimidasi mereka. Orang
fasik tidak hanya melihat kebawah merendahkan orang saleh, namun mereka juga
melihat keatas dengan arogansi yang sama, menyangkal bahwa Allah tau akan apa
yang sedang terjadi (v.9). Mereka berpikir diri mereka superior dibandingkan
orang lain sehingga mereka membuka mulut melawan langit.
Dalam ayat 12, Asaf
meringkaskan keluhannya akan orang fasik. Mereka sangat riang dan terus beroleh
kemakmuran, bahkan ditengah kejahatan mereka. Perjanjian Lama berkali-kali
menjanjikan berkat bagi orang saleh yang mendengarkan suara Tuhan dan melakukan
perintah-Nya dengan setia. Hal ini dapat dilihat dari Ulangan 28:1-14. Berkat
dan kutuk akan diberikan sesuai dengan orang yang mendengarkan suara Tuhan
serta melakukan perintahNya atau orang yang tidak melakukan hal tersebut.
Berdasarkan janji yang ada dalam kitab Ulangan, pemazmur mungkin berharap bahwa
kemakmuran akan terjadi pada dirinya dan bukan pada orang fasik yang disebutkan
dalam ayat 4-12 sehingga dengan membandingkan karakteristik ini dengan dirinya,
ada perasaan cemburu kepada orang fasik dan ketidakmengertian akan jalan Allah.
III.3. Godaan untuk meninggalkan
hati yang bersih (73:13-15)
Berbagai fakta mengenai orang fasik
memacing pemikiran pemazmur untuk membuat suatu kesimpulan logis mengenai apa
yang ia alami. “Surely, in vain I have
kept my heart pure and washed my hands in innocence” (v.13). Kata “surely” dan “pure in heart” pararel dengan ayat 1, namun ayat 13-14 lebih berfungsi
sebagai claim dari ayat 1.[11] Pemazmur mengklaim bahwa
hatinya bersih. Ia membandingkan orang fasik yang tidak bersih hatinya namun
tidak terkena penyakit (v.5) dengan dirinya dalam ayat 14 yang kena tulah
sepanjang hari. Dalam bagian ini, Asaf membuat kesimpulan, “Jika Allah tidak
memberkati orang benar dan menghukum orang jahat, seperti yang Ia janjikan
dalam Ulangan 28, jadi apa baiknya menjadi orang benar?”. Kembali disini
terlihat cara pandang Asaf dan juga emosi didalamnya.
Asaf melalui sebuah krisis iman.
Namun kita tau dari ayat 1 bahwa ayat 13-14 ini bukanlah sebuah kesimpulan
terakhir pemazmur. Meskipun dalam titik terendahnya, Asaf tetap percaya kepada
Allah. Hal ini terlihat dalam ayat 15. Salah satu pertimbangan untuk mempertahankan
kakinya agar tidak tergelincir adalah untuk generasi anak-anak Allah. Ketika ia
mengalami pergumulan ini, ia tidak dalam kondisi terisolasi, namun sebagai bagian
dari sebuah komunitas sehingga Asaf tidak lupa bahwa ia memiliki tanggungjawab
sebagai seorang pemimpin umat Allah.[12]
III.4. Titik balik dan orientasi
baru (73:16-26)
Dalam ayat 16-17, terlihat bahwa ada sebuah perubahan
dari krisis iman kepada kesadaran akan apa yang Tuhan kerjakan. Perdebatan dan
keraguan yang ada dalam hati Asaf pada
akhirnya berujung pada sebuah jawaban atas pergumulannya. Ada perubahan
paradigma dan perilaku Asaf. Sebagai ganti protes dalam ayat 13-14, muncul
kerendahan hati dalam diri Asaf untuk masuk ke dalam tempat kudus Allah. Apa
hubungan ketika Asaf masuk ke dalam tempat kudus Allah dengan perubahan yang
dialaminya?
In
the sanctuary Asaph came to see everything from God’s perspective rather from
his own limited and sinful worldview. He came to see the lives of the wicked
and also his own life from the perspective of eternity. He experienced a
paradigm shift.[13]
Masuk
ke dalam tempat kudus Allah, menyembah Dia memungkinkan Asaf untuk membingkai
ulang caranya melihat hal-hal tertentu dan menegaskan kembali kebenaran yang ia
ketahui. Ketika Asaf melihat kebenaran tersebut, hal tersebut membawanya keluar
dan menjalani kehidupannya dibawah terang dengan pengetahuan yang baru. “Going into the sanctuary made it possible to
reflect on that truth and generated a new conviction about it”.[14]
Dalam sebuah studi mengenai Mazmur,
Roy Clements, seorang pastor dari Eden Baptist Church di Cambrige mengatakan, “Worship. . . put God at the center of our
vision. It is vitally important because it is only when God is at the center of
our vision that we see things as they really are”.[15]
Hal ini juga dialami oleh Asaf. Ketika masuk ke dalam tempat kudus Allah, Asaf
menemukan orientasi baru/reorientation
setidaknya dalam 3 hal.
1.
Orientasi baru
terhadap orang fasik (vv.18-20)
Pengalaman
dalam tempat kudus membawa awareness
baru mengenai hasil dari perilaku orang fasik pada akhirnya. Bila dilihat dari
perspektif Asaf dalam kondisi dimana ia masih envy, orang fasik tampaknya tidak terkalahkan dan perjuangan untuk
terus murni dan setia tampak sia-sia. Namun sekarang Asaf memiliki cara pandang
baru dalam melihat orang fasik (v.18-20). “They
are no more stable than a fantasy”.[16]
Kemakmuran dapat hilang seketika dan tidak meninggalkan jejak. Dalam hal ini,
persepsi awal pemazmur mengenai orang fasik dan gaya hidupnya ternyata hanya
sebuah fenomena.
2.
Orientasi baru
terhadap diri sendiri (vv.21-22)
Asaf
mengingat kembali pengalaman yang dialaminya pada ayat 2-16 dan menyadari ini
adalah masalah hatinya. Martin Buber dalam essay-nya mengenai Mazmur
mengatakan,
The state of the heart determines whether a man
lives in the truth, in which God’s goodness is experienced, or in the semblance
of truth, where the fact that it “goes ill” with him is confused with the
illusion that God is not good to him.[17]
Dalam hal ini, hati adalah kata kunci dari mazmur
ini. Keadaan hati yang tidak baik telah membuat pemazmur bereaksi terhadap
kesejahteraan orang fasik. Seperti disebutkan sebelumnya, kekuatan terbesar
dari orang fasik adalah kekuatan mereka untuk membangkitkan kecemburuan dan
ketidakpuasan di hati orang-orang yang setia kepada Tuhan. Pengalaman masuk ke
tempat kudus Allah menyingkapkan kesadaran pada Asaf akan kondisi hatinya dan
ia sadar akan dirinya yang tidak bijaksana dalam melihat orang fasik.
3.
Orientasi baru
terhadap kehadrian Allah (vv.23-26)
Pengalaman dalam tempat kudus
menimbulkan perasaan menganai kehadiran Allah. Sekarang Asaf tau bahwa Allah
selalu beserta dia (v.23), daging dan hati dapat lenyap, namun Allah tetap
abadi selamanya (v.27). Ayat-ayat ini adalah ekspresi terbaik dari
spiritualitas sejati Asaf. Nasihat Allah saat ini menguasai kehidupan Asaf dan
ia merasakan diangkat kedalam kemuliaan oleh Allah (v.24). Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan dalam Matius 5:8, “Berbahagialah orang yang suci hatinya,
karena mereka akan melihat Allah”. Pengalaman bersama Allah dalam tempat kudus
tidak mengubah akan situasi yang terjadi. Orang fasik tetap bebas dan orang
saleh mungkin akan menderita. Namun pengertian yang baru membuat Asaf mampu
menanggung permasalahan karena ia sekarang tau bahwa Allah beserta dengan dia.
III.5. Penegasan iman kembali
(73:27-28)
Ayat penutup ini meringkas kembali
perjalanan spiritual Asaf terutama dalam hal visi baru yang ia peroleh dalam
pengertian jauh dan dekat dengan Allah. Kata “sesungguhnya” dalam ayat 27 mengartikan
ulang kesimpulan yang ia buat dalam ayat 12 mengenai orang fasik. Pengertian
akan orang-orang fasik yang selalu senang dan bebas sekarang dilihat dari arah
yang berbeda. Orang fasik yang tidak dekat dengan Allah akan dihukum (v.27). Asaf
akhirnya menemukan suatu prinsip dimana dalam Mazmur 1 sudah diperkenalkan
yaitu prinsip “perilaku dan konsekuensi”.
Ayat 28 menegaskan kembali iman yang
ia mulai dalam ayat pertama “Truly God is
good to the upright” namun dalam ayat 28, ia mengemukakan dengan cara yang
lebih personal “But for me nearness to God is good for me”[18] Ia tidak lagi mengingini
kemakmuran dan hal-hal yang dimiliki orang fasik. Yang ia ingini adalah Allah
itu sendiri. Pada akhirnya ia mencapai sebuah kesimpulan. Pertama, orang fasik
akan binasa pada akhirnya dan kedua, Allah akan beserta dengan orang benar dan
mereka akan bersama dengan Dia. Ia menyadari bahwa yang terpenting adalah komitmen untuk
dekat kepada Allah dan mencari pertolongan-Nya. Dekat dengan Allah berarti
menjadikan Allah tempat perlindungan, tempat dimana ia dapat aman,
menemukan
kelegaan dan melihat kembali
pekerjaan Allah dalam kehidupan orang percaya.
Terdapat sebuah progress akan kata ganti dari ayat 4
sampai 28. Pada bagian pertama, ayat 4-12, kata ganti yang ditekankan adalah
“mereka”, menunjuk kepada orang fasik. Dalam bagian kedua, ayat 13-17, kata
ganti yang dominan adalah “aku”. Melihat kemakmuran orang fasik, kemudian ia
melihat kepada diri sendiri dan jatuh saat membandingkan dengan tidak tepat.
Dalam bagian ketiga, ayat 18-22, kata
ganti yang dipakai adalah “Kau”. Pemazmur berhenti membandingkan dirinya dengan orang lain dan
mulai mendekat kepada Allah. Bagisn terakhir, ayat 23-28, kata ganti Kau dan
aku digabungkan. Asaf menyadari bahwa tangan Allah memegang tangannya dan Asaf
tidak mengingini apapun dibumi selain Allah. Asaf menyadari bahwa tangan Allah
memegang tangannya dan Asaf tidak mengingini apapun dibumi selain Allah. Pada
akhirnya Asaf menemukan dirinya self
content dalam Allah.
IV.
Kesimpulan
Pertanyaan
dan keragu-raguan dalam hati adalah bagian dari kehidupan manusia terutama
ketika seseorang berada dalam kondisi menderita. Mazmur 73 kembali mengingatkan
bahwa keadaan hati seseorang dapat mempengaruhi cara pandang, berpikir bahkan
perasaan kepada orang lain yang lebih baik dari dirinya dan tidak menutup
kemungkinan bahwa keadaan hati tersebut dapat membawa seseorang kepada dosa. Penting
untuk menyadari bahwa hati adalah pusat dari segala sesuatu dan manusia harus
terus menerus aware akan apa yang sedang terjadi dalam dirinya.
Mazmur
73 juga mengajarkan untuk terus menerus aware akan kehadiran Tuhan dalam hidup
manusia. Meskipun di dalam kehidupan berbagai pengalaman membawa manusia mengalami
keraguan dan tergoda untuk jatuh, melalui mazmur ini kembali diingatkan bahwa
esensi iman bukan manusia yang memegang tangan Tuhan, namun Tuhan lah yang
memegang tangan manusia.
Selain
itu, Mazmur 73 juga mengajarkan bahwa didalam setiap pertanyaan dan
keragu-raguan akan iman, dengan jujur setiap orang dapat datang mendekat kepada
Tuhan. Dengan mendekat kepada Tuhan, mata rohani seseorang akan semakin terbuka
melihat indahnya kekekalan surgawi dan mata jasmaninya akan semakin tertutup
melihat fananya kemuliaan dunia ini. Sehingga cara pandang seseorang terus
menerus diperbaharui ketika ia datang mendekat kepada Tuhan dan pada akhirnya
manusia dapat menemukan self content
di dalam Tuhan dan bukan kepada hal-hal yang ada dalam dunia ini.
[1]
James L. Crenshaw, The Psalms : An
Introduction (Grand Rapids, Michigan : Eerdmans Publishing Co, 2001), 111
[2]
Richard J.Clifford, Psalms 73-150
(Nashville : Abingdon Press, 2003), 15
[3]
James H.Waltner, Believers Church Bible Commentary
: Psalms (Scottdale : Herald Press,
2006), 356
[4]
James M.Boice, Psalms 42-106 (Grand
Rapids, Michigan : BakerBooks, 1996), 611
[5] James H.
Waltner, Believers Church Bible Commentary
: Psalms (Scottdale : Herald Press,
2006), 357
[6]
John Goldingay, Psalms Vol 2 (Grand
Rapids, Michigan : BakerAcademic,), 401
[7]
Richard J.Clifford, Psalms 73-150
(Nashville : Abingdon Press, 2003), 17
[8] James
M.Boice, Psalms 42-106 (Grand Rapids,
Michigan : BakerBooks, 1996), 611
[9] James
M.Boice, Psalms 42-106 (Grand Rapids,
Michigan : BakerBooks, 1996), 612
[10]
John Goldingay, Psalms Vol 2 (Grand
Rapids, Michigan : BakerAcademic,), 405
[11]
John Goldingay, Psalms Vol 2 (Grand
Rapids, Michigan : BakerAcademic,), 407
[12]
James M.Boice, Psalms 42-106 (Grand
Rapids, Michigan : BakerBooks, 1996), 613
[13]
James M.Boice, Psalms 42-106 (Grand
Rapids, Michigan : BakerBooks, 1996), 613
[14]
John Goldingay, Psalms Vol 2 (Grand
Rapids, Michigan : BakerAcademic,), 409
[15]
James M.Boice, Psalms 42-106 (Grand
Rapids, Michigan : BakerBooks, 1996), 613
[16]
James M.Boice, Psalms 42-106 (Grand
Rapids, Michigan : BakerBooks, 1996), 614
[17]
Marvin E.Tate, Word Biblical Commentary
volume 20 : Psalm 51-100 (Dallas, Texas : Word Books, 1990), 239
[18]
Richard J.Clifford, Psalms 73-150
(Nashville : Abingdon Press, 2003), 20
Komentar
Posting Komentar