For"give"

Beberapa bulan terakhir ini saya sedang membaca 1 buku Philip Yancey yang berjudul "Keajaiban Kasih Karunia : What's So Amazing About Grace?" Bukunya bagus banget, tapi saya sendiri belum selesai baca. Ada 20 bab dalam buku ini, dan saya baru baca sampai bab 12. Long way to go :)
Tapii, selalu ada yang menarik dan saya pelajari ketika membaca buku atau menonton film dan seperti biasaaa, ingin saya bagikan apa yang saya baca dan menjadi perenungan pribadi saya. 

Buku ini mengupas tentang kasih karunia atau biasa kita sebut Grace. Penulis membawa kita untuk berpikir, kalau kasih karunia adalah kasih Allah bagi mereka yang tidak layak, lalu bagaimana bentuknya saat bekerja? Dan jika orang Kristen adalah satu-satunya penyebar kasih karunia ini, lalu sebaik apa kita membagikannya di dunia yang mengenal jauh lebih banyak kekejaman dan ketiadaan pengampunan daripada belas kasihan?

Fakta dan realita dunia dimana kita tinggal yang semakin bergerak dalam arus individualisme, relativisme membuat masing-masing individu didalamnya jarang sekali memikirkan tentang kasih karunia, termasuk saya. Kita cenderung terjebak untuk memikirkan aku, aku dan aku. Relasi dengan orang lain yang tidak baik sering kita abaikan begitu saja. Kehadiran orang-orang disekitar kita yang men-challenge kita untuk memilih respon positif atau negatif pun, kita rasanya malas untuk berurusan dengan segala sesuatu hal yang negatif dan memilih untuk menghindar kalau bisa. Sejujurnya kita malas untuk direpotkan dengan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan apa mau kita. Menarik ketika penulis mengkaitkan kasih karunia ini dengan ketiadaan pengampunan. Ini yang sebenernya ingin saya bahas kali ini, hehee..panjang yaa intronya :)

Bicara masalah mengampuni tidak pernah mudah bagi saya. Kenapa? Karena saya lahir dalam keluarga yang jarang sekali mengeluarkan kata "Maaf", bahkan bisa dibilang nggak pernah. Hal itu tidak pernah diajarkan oleh kedua orangtua saya sehingga saya cenderung menjadi orang yang selalu merasa benar dan orang lain yang salah. Tapi Tuhan sudah pasti tidak tinggal diam ketika saya menjadi saya yang seperti itu. Sudah pasti saya dididik berkali-kali dengan sebuah masalah mengampuni. And you know what? Hal itu harus saya pelajari dalam keluarga sendiri, yang bagi saya sulitnya setengah mati >.<

Dalam bahasa Inggris, kata maaf itu adalah "forgive" yang mengandung kata "give" atau "memberi". Pengampunan mengandung kualitas tidak layak, tidak pantas, dan tidak adil yang memusingkan. Seringkali yang terjadi adalah kata maaf itu keluar begitu saja untuk menghindari konflik. Tapi dalam pengalaman saya, even ketika saya sudah berkata "maaf", ada hati yang belum siap memaafkan.
Saya tidak pernah menganggap mengampuni itu mudah..dan jarang menemukan itu benar-benar memuaskan. Ketidak-adilan yang mengganggu tetap ada..dan luka itu masih menyakitkan. Saya harus mendekati Tuhan berulang-ulang, menyerahkan padanya sisa-sisa yang saya kira sudah saya serahkan padanya dulu sekali.

Ujian pertama dari Tuhan adalah ketika saya harus mengampuni kakak saya sendiri yang terlah memperlakukan saya dengan tidak baik ketika saya masih duduk dibangku sekolah. Saat itu saya memilih untuk mendiamkan dia selama 6 bulan (ckck..jangan ditiru sodara-sodara) dan tidak akan mengampuni atas apa yang sudah dilakukan terhadap saya. Sampai salah satu guru Math saat itu yang tau kalau kami sedang bertengkar, berkata "Udah...kamu baikan dong sama kakakmu". Saya cerita masalah saya ke guru tersebut karena memang guru tersebut udah kayak sohib...dan saya satu sekolah dengan kakak-kakak saya, jadi guru saya tau..hahaha...tapi saya tetap tidak melakukan apa yang disuruh guru tersebut sih *bandel*
Aniwei, saya selalu berpikir begini, "Saya nggak salah, kenapa saya harus minta maaf?? Bukannya yang minta maaf harusnya orang yang ngerasa salah??"

Pikiran itu yang terus saya bawa sampai saya kuliah dan Tuhan terus membenturkan saya dengan berbagai kejadian dalam keluarga dimana ujung-ujungnya selalu saya yang meminta maaf pertama kali. Saya terus bertanya, "Tuhan kenapa saya yang harus minta maaf padahal saya nggak salah?", berbagai pikiran dan perasaan "not fair" muncul dalam diri saya. Berulang kali pun saya harus merendahkan hati saya untuk belajar minta maaf duluan dan say sorry. Awalnya saya masih nggak terima, tapi perlahan Tuhan kasih jawabannya ke saya. Kurang lebih seperti ini :

Orang pertama dan seringkali satu-satunya orang yang disembuhkan oleh pengampunan adalah orang yang mengampuni. Ketika kita memaafkan dengan tulus, kita membebaskan sang tawanan dan kemudian menemukan bahwa tawanan yang dibebaskan itu adalah kita. 

Iniihh..!! Ini jawabannya...dan saya merasakan hal ini sendiri. Orang yang dibebaskan dari tawanan itu adalah diri saya sendiri. Saya tidak menyimpan kebusukan dalam hati saya, saya tidak menyimpan sesuatu yang saya tau bakal menggerogoti diri saya perlahan, tapi saya belajar untuk melepaskan itu dan menyerahkan dibawah kontrol Tuhan. 

Pada akhirnya saya belajar hal lain juga bahwa pengampunan adalah tindakan iman. Kenapa Tuhan dalam Alkitab menyuruh kita untuk mengampuni 70x7 kali? 
Karena Tuhan sendiri tau itu bukan hal yang mudah. Mengampuni itu bukan natur manusia yang alami. Natur manusia adalah berdosa dan ingin membalas dendam apa yang sudah diperbuat orang lain kepada kita. Boong lah ketika ada orang yang menyakiti kita, lalu dengan serta merta kita bilang mengampuni saat itu juga. Mulut bisa berkata begitu, tetapi soal hati, Tuhan yang paling tau. Iman ini yang membawa kita bisa mengampuni orang lain. Kenapa? Karena kita percaya bahwa Allah adalah pemberi keadilan yang LEBIH BAIK dari kita. Siapa kita menggunakan standart kita untuk menghukum orang yang sudah menyakiti kita? Disitulah letak iman, bahwa kita serahkan semua ke Tuhan, ditengah ego kita yang besar dan pikiran yang merasa paling tahu yang terbaik.
Bahkan Martin Luther King juga berkata, "Pengampunan bukan tindakan sesekali : itu adalah sikap permanen". Artinya, kita harus melakukan hal tersebut berkali-kali, menghadap Tuhan untuk membereskan hati kita dan ini proses seumur hidup. 

Pelajaran kedua tentang mengampuni yang saya dapat adalah berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Gimana ini maksudnya? Hehehe...
Sejak saya kuliah S2 mengambil konseling, saya banyak dibukakan dengan keberadaan diri dengan berbagai pikiran, perasaan dan tingkah laku yang saling berkaitan dari dulu sampai sekarang. Kita adalah produk dari berbagai pengalaman yang terjadi dari kecil sampai sekarang. 
Masalahnya, tidak semua produk itu hasilnya bagus. In my case, saya berjuang untuk terus membereskan diri saya sendiri, salah satunya adalah masalah mengampuni papa saya. 
Saya tidak pernah tau bahwa kebencian dan cara pandang saya terhadap papa saya sangat berdampak secara psikologis pada saya sampai saya di konseling oleh dosen saya 4 tahun lalu.  

"Hanya retakan kecil, tetapi retakan kecil itu dapat menyebabkan gua runtuh" kata Alexander Solzhenitsyn.
Betul...hanya retakan kecil awalnya, namun ketika itu tidak pernah dibereskan, akan menjadi bola salju yang berguling menjadi semakin besar. 
Dan saya mengalami itu. Saya menyimpan perasaan marah kepada papa saja sejak SMP mungkin, dan saya membiarkan semakin lama kebencian itu merasuki saya. Sampai akhirnya saya tidak sadar, itu mempengaruhi saya dalam melihat lawan jenis. Saat konseling, saya mendapatkan satu PR yang cukup sulit, yaitu dalam waktu 1 minggu, cari waktu ngobrol bersama papa saya dan cobalah untuk mitna maaf. 
Saya bengong mendengar kata-kata dosen saya itu dan sedikit meragukannya. Dan dalam pergumulan saya dengan Tuhan untuk melakukan hal tersebut, saya berdoa, "Tuhan, Tuhan tau sendiri saya nggak pernah ngobrol sama papa. Tau sendiri papa orangnya kayak gimana kan...tolong kasih saya hikmat buat ngomong". Tiap kali mau menghampiri papa saya yang lagi nonton TV, saya maju mundur...udah deket, saya balik ke kamar...hahaha...ga tau harus ngomong apa...sampai akhirnya saya memberanikan diri menghampiri papa saya, dan saya bilang saya ingin bicara. Dan...udah, saya ungkapkan lah apa yang menjadi pikiran dan perasaan saya selama ini, dan saya minta maaf. Amzingly, papa saya juga mengeluarkan kata maaf itu..wooow...saya kaget saat itu, di sisi lain juga senang. Mungkin kata-kata ini yang selama ini ingin saya dengar. 
Setelah itu, hubungan dengan papa saya membaik, cara pandang saya berubah dan tentunya hati saya juga berubah. Kebencian itu perlahan runtuh. 

Tanpa pengampunan, monster masa lalu itu bisa bangkit kapan saja dari tidur panjangnya untuk memangsa masa kini dan masa depan - Philip Yancey


Setelah saya sadar betapa besar dampak akan yang namanya sebuah pengampunan ini, ketika saya menghadapi klien-klien saya, saya juga melakukan hal yang sama, mengajak mereka untuk bergumul dengan yang namanya sebuah pengampunan. Mengampuni masa lalu. Mengampuni orangtua. Mengampuni kakak. Mengampuni mantan pacar. Dan tentu bagi klien-klien saya, mereka bilang itu tidak mudah. Saya paham sekali rasanya, karena saya sudah merasakan sendiri. Tapi satu hal yang pasti, hasilnya setimpal dengan prosesnya :) Saya selalu bilang kepada klien-klien saya untuk minta kekuatan dari Tuhan ketika berhadapan dengan masalah mengampuni. Karena sudah pasti, memakai kekuatan sendiri untuk mengampuni tidak akan pernah berhasil. 

Kembali kepada kaitannya dengan kasih karunia, so...apakah kita ingin menjadi agen perubahan dalam dunia ini? Sebelum kita memberikan kasih karunia dalam dunia yang lebih mengenal kekejaman dan ketiadaan pengampunan, mulailah berdamai dengan orang-orang terdekatmu, bahkan dirimu sendiri. Sebarkan kasih karunia itu kepada orang-orang yang tidak mengenal kasih karunia Tuhan karena sejatinya untuk itulah kita sebagai orang Kristen dipanggil ditengah dunia ini.



"Kasih karunia tidak menyetujui dosa, tapi menghargai pendosa. Kasih karunia sejati mencengangkan, tidak masuk akal. Ia mengguncang adat kebiasaan kita dengan kegigihannya untuk mendekati orang berdosa dan menyentuh mereka dengan belas kasih dan harapan" - Philip Yancey

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-Hal Yang Gw Harap Gw Paham Ketika Masih Muda

Toxic Positivity

3 words for 2020